Kamis, 03 Januari 2013

KITA MEMANG NARSIS

Sudah lama orang memberitakan betapa seorang manusia ketika menemukan tempat untuk bercermin, akan segera menyimpulkan betapa cantik (bagi wanita) dan betapa ganteng dan macho (bagi pria) diri mereka. Ratusan tahun sebelum masehi pun, seorang bernama Narcissus segera jatuh cinta ketika melihat bayangan dirinya di kolam yang jernih. Dia mengagumi dirinya sendiri, hingga jatuh cinta.

Ternyata, di abad ke-21 ini pun masih banyak orang yang sangat menyanjung dirinya sendiri, baik hal fisik maupun kepribadian. Saya tidak akan membahas masalah fisik di dalam artikel ini. Mari kita bicara betapa Narsis (Narciss) kita dalam hal kepribadian.

Bagi anda yang sudah pernah dan yang sudah sering mengikuti tes kepribadian, baik saat akan mengikuti ujian saat melamar kerja atau pun untuk keperluan lain, pasti pernah "mengaku" sebagai orang "baik-baik" sehingga membuat orang yang melihat hasil kepribadian itu ingin merekrut anda. Ada ratusan pertanyaan yang anda harus jawab dalam format pilihan banyak (ada lebih dari dua altermatif jawaban) dan pilihan ganda (hanya ada dua alternatif jawaban). Atau, adakah yang menjawab apa adanya anda? Murni 100 persen apa adanya anda? Kalau betul 100 persen apa adanya anda, saya acungkan dobel jempol buat anda.

Nah, masalahnya, sebagian besar mereka yang mengikuti tes kepribadian, berusaha menjawab sedemikian rupa sehingga dia menjadi layak untuk direkrut, bukan untuk menjadi dirinya sendiri!

Hal itulah yang disangsikan oleh Daniel Goleman, dalam sebuah bukunya yang berjudul "Social Intelligence." Goleman menyangsikan bahwasannya kepribadian atau "Kecerdasan Emosi/Sosial" seseorang dapat diukur dengan menggunakan kertas dan pensil dengan metoda pilihan ganda! Dia tidak yakin kemampuan praktis sosial dapat diukur dengan ujian tertulis yang teoritis. Sayangnya, orang sehebat Goleman pun, menyatakan kesangsian ini "hanya" pada Apendiks-C dari buku tebal karangannya itu, bukan pada pokok bahasan! Ada apa? Dalam konteks tulis-menulis non-fiksi, itu adalah "bahasa tubuh" dari penulis buku, bahwa dia masih agak ragu-ragu dengan pernyataannya sendiri!

Nah, mari kita kembali kepada pokok bahasan kita tentang betapa Narsisnya kita. Dalam kesempatan test REAL-EQ yang kami lakukan terhadap klien-klien kami, menunjukkan bahwa sangat sedikit yang "mengakui" apa adanya kepribadian masing-masing. Sebagian besar masih saja berpura-pura untuk menjadi pribadi yang baik dan benar saat menjawab pertanyaan tertulis pilihan ganda. Setiap pelamar tentu ingin mendapat kesempatan bekerja dan untuk itu dia harus menonjolkan bahwa dirinya adalah orang yang baik (di sini letak NARCISS-nya).

Seorang pengurus sebuah yayasan yang membawahi bidang pendidikan, yaitu Taman Kanak-kanak, telah meminta kami untuk melakukan Test EQ, metoda REALEQ(R). Sebenarnya, dia sudah dapat menyimpulkan siapa-siapa di antara para guru TK yang sering membuat masalah dalam pekerjaan sebagai guru. Namun dia mengundang kami untuk melakukan Test EQ untuk meyakinkan/memperkuat kesimpulannya.

Singkat cerita, pada bulan Desember 2012 telah dilaksanakan test EQ tersebut. Beberapa hari kemudian, setelah kami analisis, ternyata dari hasil analisis menunjukkan: 6 dari 7 guru mempunyai Narciss Point (selanjutnya kami sebut "NarPo") lebih dari 30. Dan, dua orang di antaranya mempunyai NarPo lebih dari 60 (daerah rawan konflik sosial/emosional).

Pada saat kami melaporkan hasil analisis kami, ternyata, apa yang kami simpulkan (berdasarkan test dan analisis) dan apa yang disimpulkan berdasarkan pengamatan pengurus yayasan (tanpa angka), adalah SAMA! Jadi, kedua orang itu memang seringkali mendapat masalah dalam kegiatan sebagai guru di sana.

Apa kesimpulan kita saat ini? Seperti pada uraian tersebut di atas, bahwa 6 dari 7 orang mempunyai NarPo lebih dari 30, dapat "disimpulkan" bahwa sebagian besar kita adalah NARSIS, hanya saja mempunyai tingkat/kategori yang berbeda tiap orangnya..